Oleh: Dwi Taufan Hidayat
KADANG kita terpaku pada kilau hidup orang lain yang terlihat sempurna, hingga lupa bahwa di balik layar setiap manusia memikul ujian. Senyum tak selalu berarti tanpa luka, dan tawa tak selalu menandakan tanpa air mata. Hidup bukan untuk dibandingkan, tapi untuk dijalani dengan syukur, sabar, dan kejujuran hati.
Namaku Rafi. Usia 29 tahun. Mungkin kalau kamu lihat postingan di media sosialku, kamu akan berpikir aku ini orang yang hidupnya lancar-lancar saja. Aku sering unggah foto di kafe, pemandangan alam, atau kadang perjalanan kerja ke luar kota. Banyak yang komentar, “Enak banget hidupnya, jalan-jalan terus.” Tapi jujur, kalau saja mereka tahu isi kepalaku, mungkin mereka akan berhenti berandai-andai ingin berada di posisiku.
Yang mereka lihat hanyalah cuplikan. Potongan kecil dari 24 jam yang aku lalui setiap hari. Mereka tidak melihat malam-malamku yang penuh kegelisahan, atau pagi-pagi ketika aku terbangun dengan dada sesak memikirkan beban hidup.
Aku ingat suatu sore, sedang duduk di teras rumah setelah salat Ashar, HP-ku berdering. Pesan dari teman lama: “Fi, ajarin dong cara biar hidup tenang kayak kamu.” Aku tersenyum hambar. Ingin rasanya bilang, “Kalau kamu tahu, hidupku nggak setenang itu.” Tapi aku hanya balas singkat, “Nanti kita ngobrol, ya.”
Malam itu aku merenung. Aku jadi ingat firman Allah ﷻ:
﴿فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى﴾
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS. An-Najm [53]: 32)
Ayat ini menusuk. Jangan pernah menganggap diri sendiri lebih baik hanya karena penampilan luarmu terlihat indah. Karena kebenaran hati itu hanya Allah yang tahu. Aku sadar, bisa jadi ada orang yang hidupnya sederhana tapi hatinya jauh lebih tenang dan dekat dengan Allah dibanding aku yang sering pamer potongan indah kehidupanku.
Semenjak itu, aku mulai menahan diri untuk tidak terlalu memoles kehidupan di media sosial. Aku tak mau lagi menjadi bagian dari ilusi yang membuat orang lain membandingkan kehidupannya dengan milikku. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
«إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ»
“Sesungguhnya besarnya balasan sebanding dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Siapa yang ridha, maka baginya keridhaan (Allah), dan siapa yang murka, maka baginya kemurkaan (Allah).” (HR. Tirmidzi)
Aku mulai belajar melihat orang lain tanpa iri. Tapi ini tidak mudah. Apalagi ketika aku sedang berada di titik rendah, sementara timeline-ku penuh dengan kabar bahagia orang lain: menikah, punya anak, beli rumah, keliling dunia.
Sampai suatu hari, aku kehilangan pekerjaanku. Perusahaan tempatku bekerja selama enam tahun mengalami kerugian besar, dan aku termasuk dalam daftar karyawan yang terkena PHK. Rasanya dunia runtuh. Cicilan rumah masih berjalan, tabungan menipis, dan di rumah, ibuku sedang sakit-sakitan.
Hari-hari setelahnya penuh dengan rasa khawatir. Aku mencoba melamar pekerjaan di sana-sini, tapi tak kunjung ada panggilan. Di tengah kondisi itu, aku semakin jarang membuka media sosial. Bukan karena tidak punya waktu, tapi karena aku tahu itu hanya akan membuatku semakin tertekan.
Aku ingat firman Allah ﷻ:
﴿وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ﴾
“Dan janganlah engkau tujukan pandanganmu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha [20]: 131)
Ayat ini seperti memelukku. Menyadarkanku bahwa mungkin yang kulihat sebagai “kehidupan sempurna” orang lain, justru bisa menjadi ujian bagi mereka. Sementara aku, meski sedang jatuh, bisa jadi sedang ditempa untuk menjadi lebih kuat.
Di tengah masa sulit itu, aku mencoba memperbanyak doa dan sedekah, meski sedikit. Aku ingat satu hadis yang selalu diulang ustaz di pengajian dekat rumah:
«لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ»
“Kekayaan bukanlah diukur dari banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Benar saja, sedikit demi sedikit, hatiku mulai tenang. Meski belum ada pekerjaan tetap, aku mulai menerima pekerjaan lepas. Cukup untuk makan dan membeli obat ibu. Dan anehnya, aku mulai lebih bahagia dibanding saat gajiku besar dulu.
Suatu sore, setelah lama tak membuka media sosial, aku iseng memeriksa akun pribadiku. Banyak pesan masuk, sebagian besar dari teman-teman lama. Ada satu pesan yang membuatku terdiam. Dari teman SMA yang dulu aku kira hidupnya selalu mudah. Ia menulis, “Fi, aku lihat postinganmu jarang. Semoga kamu baik-baik saja. Aku mau cerita, aku baru saja bercerai. Berat banget, tapi aku lihat kamu kuat, jadi aku ingin belajar dari kamu.”
Aku membaca pesan itu berulang kali. Ternyata, orang yang dulu kukira hidupnya sempurna pun punya cerita pilu. Saat itulah aku semakin yakin: tidak ada hidup yang benar-benar bebas dari ujian. Bedanya hanya pada apa yang Allah tampakkan kepada orang lain, dan apa yang Allah simpan rapat-rapat.
Allah ﷻ berfirman:
﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ﴾
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah [9]: 120)
Sejak hari itu, aku memutuskan untuk menjalani hidup apa adanya. Tidak lagi mengejar penilaian orang. Aku tetap memotret momen indah, tapi bukan untuk pamer, melainkan untuk mengingatkan diri sendiri akan nikmat yang Allah beri. Aku juga lebih sering memotret momen sederhana: minum teh hangat di pagi hari, senyum ibu setelah makan obat, atau langit senja di belakang rumah.
Kini aku paham, hidup ini bukan untuk ditonton, tetapi untuk dijalani dengan jujur. Kalau aku sedang sedih, aku izinkan diriku menangis. Kalau aku bahagia, aku syukuri tanpa harus membandingkan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ»
“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 148)
Aku mulai melatih diri untuk “berlomba” dalam hal yang benar-benar bermanfaat, bukan dalam hal siapa yang lebih terlihat hebat di mata manusia. Dan setiap kali rasa iri mulai muncul, aku ingat firman Allah dalam QS. Adh-Dhuha ayat 4:
﴿وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَىٰ﴾
“Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.”
Aku tidak tahu apa yang menungguku di masa depan. Tapi aku percaya, kalau aku terus berusaha sabar, bersyukur, dan jujur pada diri sendiri, Allah akan memberi akhir yang jauh lebih baik.
Jadi, untuk kamu yang sedang membaca kisahku ini: jangan bandingkan perjalananmu dengan orang lain. Kita semua punya ujian, punya waktu, dan punya takdir masing-masing. Fokuslah pada prosesmu, karena itulah yang dilihat Allah.
Dan percayalah… kebahagiaan sejati tidak pernah diukur dari seberapa indah kita terlihat di mata orang lain, tapi dari seberapa tulus kita di hadapan Allah.