Oleh: Dwi Taufan Hidayat
MUSIM layangan kerap menjadi momen yang menyenangkan bagi anak-anak. Namun di balik keseruannya, terdapat risiko yang tak sedikit. Banyak orang tua tidak menyadari bahwa benang layangan, terutama yang menggunakan kaca atau serat tajam, dapat menimbulkan bahaya serius bagi pengguna jalan. Oleh sebab itu, penting bagi orang tua untuk hadir, membimbing, dan tidak abai terhadap aktivitas anak. Islam memberi tuntunan yang jelas dalam menjaga keselamatan dan mencegah mudarat, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Musim layangan, yang bagi sebagian orang hanya dianggap hiburan, dalam pandangan Islam bisa berubah menjadi ladang dosa jika orang tua membiarkan anak-anaknya mencelakakan diri atau orang lain. Hal ini bukan semata persoalan sosial, tetapi juga menyentuh nilai-nilai tanggung jawab syar’i.
Rasûlullâh Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Lā ḍarara wa lā ḍirār.”
Artinya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Mājah no. 2340 dan ad-Dāraquthni no. 436)
Hadis ini merupakan kaidah agung dalam syariat Islam. Ulama besar seperti Imam Mālik, asy-Syāfi’i, dan Ahmad rahimahumullāh menjadikan hadis ini sebagai fondasi dalam menetapkan hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan bahaya, kerugian, dan pencegahannya.
Dalam konteks anak bermain layangan, jika benang yang digunakan adalah benang kaca yang tajam, maka ini masuk dalam kategori adh-dharar (membahayakan) terhadap orang lain. Sementara orang tua yang mengetahui namun tidak mencegah, masuk dalam kelalaian yang bisa mendatangkan dosa. Allāh Subhānahu wa Ta‘ālā berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Yā ayyuhalladzīna āmanū, qū anfusakum wa ahlīkum nārā.”
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrīm: 6)
Ibnu ‘Abbās Radhiyallāhu ‘anhumā menjelaskan ayat ini: “Ajarkan kepada mereka ilmu dan adab.” Sementara Al-Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata: “Perintahkan mereka untuk taat kepada Allāh, dan larang dari maksiat kepada-Nya.”
Ketika anak dibiarkan bebas mengejar layangan hingga ke jalan raya, lalu tanpa sadar tertabrak kendaraan, siapakah yang bertanggung jawab? Dalam Islam, walī atau orang tua memiliki kewajiban besar untuk menjaga keselamatan anaknya. Rasulullāh Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Kullukum rā‘in wa kullukum mas’ūlun ‘an ra‘iyyatihi.”
Artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhāri no. 893 dan Muslim no. 1829)
Seorang ayah adalah pemimpin dalam keluarganya. Ia akan ditanya kelak di hadapan Allāh: sudahkah ia mendidik, menjaga, dan melindungi anaknya dari bahaya? Termasuk bahaya yang berasal dari kesenangan yang tampak sepele seperti bermain layangan.
Maka orang tua yang bijak tidak hanya memberi kebebasan, tapi juga batasan. Islam tidak melarang anak bermain, tetapi memberi kerangka: bermain yang tidak membahayakan, yang tidak mengganggu ketertiban umum, dan yang tidak menyakiti siapa pun.
Allāh Subhānahu wa Ta‘ālā berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Wa lā taqtulū anfusakum, innallāha kāna bikum rahīmā.”
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allāh Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisā’: 29)
Ayat ini memperkuat larangan untuk menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Termasuk jika kita tahu suatu aktivitas berpotensi membawa celaka, namun tetap membiarkan tanpa upaya pengawasan.
Tak hanya itu, Islam sangat melindungi hak pengguna jalan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abū Sa‘īd al-Khudrī Radhiyallāhu ‘anhu, Rasūlullāh Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ فِي الطُّرُقَاتِ
“Iyyākum wal-julūs fīth-thuruqāt.”
Artinya: “Hindarilah duduk-duduk di pinggir jalan.” (HR. Bukhāri dan Muslim)
Ketika para sahabat berkata bahwa mereka kadang membutuhkannya, Nabi membolehkan dengan syarat menjaga adab-adab, salah satunya tidak mengganggu pengguna jalan. Maka anak-anak yang berlari di tengah jalan mengejar layangan jelas tidak termasuk dalam adab Islami.
Oleh karena itu, musim layangan bisa menjadi ladang pahala jika orang tua mengarahkannya dengan baik, mengedukasi tentang risiko, dan mengganti dengan bentuk permainan yang lebih aman dan edukatif. Namun ia bisa pula menjadi ladang dosa jika kelalaian mengakibatkan bahaya nyata bagi orang lain.
Marilah kita menjadi orang tua yang sadar amanah. Jangan hanya merasa telah memberi makan dan pakaian. Tugas kita lebih dari itu membentuk akhlak, menjaga keselamatan, dan membimbing anak menjadi pribadi yang membawa manfaat, bukan mudarat.
Rasūlullāh Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Khairun-nāsi anfa‘uhum lin-nās.”
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad, ath-Thabrāni)
Maka mari kita ubah persepsi tentang bermain layangan: bukan sekadar hiburan anak-anak, tapi juga sarana mendidik tanggung jawab dan menanamkan nilai syariat. Tugas orang tua bukan memadamkan kesenangan, tapi mengarahkan dengan kasih sayang dan ilmu.
Semoga kita termasuk orang tua yang bertanggung jawab, dan tidak menjadi penyebab terjadinya bahaya yang bisa kita cegah. Semoga setiap tindakan kita dalam mendidik anak bernilai pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta‘ālā.
Wallāhu a‘lam.