DALAM kehidupan sosial yang serba kompleks ini, adab dan akhlak terpuji menjadi penyejuk yang menstabilkan gejolak interaksi manusia. Namun, seringkali akhlak itu hanya ditunjukkan kepada orang berpangkat dan berkuasa, sementara kepada yang lemah dan pendosa, justru dihina. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan adab yang universal dan menyeluruh.
Ada sebuah fragmen hidup yang layak direnungi. Seorang lelaki datang dengan pakaian lusuh ke sebuah majelis ilmu. Sebagian peserta menyambutnya dengan tatapan sinis, menghindar dari tempat duduknya, bahkan memalingkan wajah. Namun, sang guru dengan penuh hormat mempersilakan ia duduk di sampingnya. Lalu berkata, “Inilah ujian kita yang sebenarnya: bukan saat kita menghormati pejabat, tapi saat kita memuliakan yang tampak tak punya apa-apa.”
Beginilah Islam mendidik manusia agar tidak memandang status sosial sebagai tolok ukur dalam memperlakukan sesama. Sebab, kemuliaan bukan diukur dari apa yang dipakai, dikendarai, atau ditandatangani. Kemuliaan itu bernama taqwa, dan ia tidak tampak di mata manusia.
Allah Subhānahu wa Ta‘ālā menegaskan dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini bukan sekadar informasi, tapi koreksi terhadap sikap yang sering kita anggap wajar: menghormati yang berpangkat tapi melecehkan yang miskin. Menjilat yang atas tapi menyepelekan yang di bawah.
Rasulullah ﷺ yang kita cintai, tidak pernah memandang rendah siapa pun. Beliau memuliakan orang kaya yang dermawan, tetapi juga memuliakan Bilal bin Rabah, seorang budak berkulit hitam yang tidak punya apa-apa selain keimanan yang kokoh.
Dalam satu hadis, beliau bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَا إِلَى أَجْسَادِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim no. 2564)
Ini menunjukkan bahwa adab bukan untuk dipamerkan kepada mereka yang punya kuasa, tetapi untuk ditegakkan sebagai prinsip hidup yang adil kepada siapa pun termasuk kepada pendosa yang sedang mencari jalan pulang.
Jika kita hanya menunjukkan sopan santun kepada bos, kepada pejabat, kepada orang kaya, sementara kepada pemulung, tukang parkir, atau wanita tuna susila kita bersikap sinis, maka itu bukan adab. Itu kemunafikan sosial yang dibungkus etika palsu.
Islam mengajarkan adab kepada setiap makhluk, bahkan kepada hewan dan tumbuhan. Maka mengapa manusia yang sama-sama punya hak hidup dan martabat, kita perlakukan dengan ketimpangan?
Mari kita jujur kepada diri sendiri. Seberapa sering kita melempar senyum kepada orang kaya, namun memasang wajah masam kepada orang yang tidak berdaya? Seberapa sering kita berdiri penuh hormat menyambut pejabat, tetapi menyingkir diam-diam saat melihat pengemis mendekat?
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللَّهُ
“Siapa yang tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak akan menyayanginya.” (HR. Bukhari no. 6013 dan Muslim no. 2319)
Jelas sudah. Adab yang benar adalah adab yang tidak selektif. Ia tidak membedakan antara berdasi atau berkeringat. Tidak mengukur akhlak berdasarkan aroma parfum atau debu jalanan.
Seorang ulama pernah berkata, “Kau akan tahu kemuliaan seseorang, bukan dari cara dia menyapa atasannya, tapi dari bagaimana ia memperlakukan pelayan dan tukang sapu.”
Maka, mari kita luruskan kembali akhlak kita. Mari kita ajarkan kepada anak-anak, bahwa menundukkan kepala di depan atasan adalah baik, tapi lebih baik jika dilakukan juga kepada tukang ojek yang menghantar mereka ke sekolah.
Muliakan semua manusia, sebab boleh jadi, yang hari ini kau remehkan, justru besok lebih mulia di sisi Allah darimu. Akhlak yang terjaga adalah mahkota yang tak akan lekang. Bukan milik bangsawan saja, tapi milik siapa saja yang menanamnya dengan tulus.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.